POLITIKAL.ID – Kasus dugaan suap terkait perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Kalimantan Timur masih terus digali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus ini telah menyeret nama dua tersangka, yakni pihak swasta Rudy Ong Chandra (ROC) dan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim, Dayang Donna Wirdania (DDW).
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut bahwa tim penyidik juga sedang mengusut lebih dalam apakah praktik suap ini merupakan kejadian pertama atau bagian dari pola berulang.
“Kami sedang mendalami apakah ini kejadian pertama atau merupakan bagian dari rangkaian praktik yang biasa terjadi,” ujar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (10/9/2025).
Asep mengungkapkan indikasi awal yang mengarah pada praktik suap yang sistemik terlihat dari adanya proses negosiasi besaran uang antara pemberi dan penerima suap. Ia menyebut, nilai suap yang awalnya disebut Rp1,5 miliar kemudian berubah menjadi Rp3,5 miliar.
“Ada negosiasi bahkan sebelum ada respons resmi dari pihak yang dituju. Ini menandakan bahwa proses suap tersebut seperti sudah menjadi hal yang lumrah,” tambahnya.
Sebelumnya, KPK telah melakukan penahanan terhadap DDW yang diketahui merupakan anak dari mantan Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak (AFI). Penahanan dilakukan setelah KPK menetapkan DDW sebagai tersangka bersama dengan ROC.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, membenarkan penahanan tersebut dan menyebut bahwa DDW ditahan selama 20 hari pertama terhitung sejak 9 hingga 28 September 2025, di Rutan Klas IIA Jakarta Timur.
“KPK telah menahan Sdri. DDW selaku Ketua Kadin Kaltim sekaligus anak dari Sdr. AFI, terkait perkara dugaan suap pengurusan perpanjangan IUP,” ungkap Budi.
Kasus ini bermula pada Juni 2014, saat ROC memberikan kuasa kepada seorang makelar bernama SUG di Samarinda untuk mengurus perpanjangan enam IUP eksplorasi milik perusahaannya. Upaya itu kemudian dilanjutkan oleh kolega SUG, yaitu IC, yang juga terlibat aktif dalam proses pengurusan izin. Pada Agustus 2014, ROC dan IC diketahui bertemu langsung dengan AFI, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, untuk membicarakan permasalahan izin pertambangan perusahaan ROC.
Sebagai biaya pengurusan, ROC mengirimkan dana senilai Rp3 miliar kepada IC, termasuk fee pribadi. Selanjutnya, IC menemui AMR, Kepala Dinas ESDM Kaltim, untuk meminta dukungan dalam proses perpanjangan IUP tersebut. Pada Januari 2015, surat permohonan resmi perpanjangan IUP diajukan atas nama beberapa perusahaan seperti PT SJK, PT CBK, PT BJL, dan PT APB ke BPPMD-PTSP Kaltim. Setelah surat diterima, IC diduga mentransfer uang senilai Rp150 juta kepada MTA (Kepala Seksi Pengusahaan Dinas ESDM Kaltim) dan Rp50 juta kepada AMR.
Masih di awal 2015, DDW yang merupakan anak dari AFI mulai aktif dalam komunikasi terkait pengurusan IUP. AMR disebut sempat dihubungi DDW untuk menanyakan perkembangan proses perizinan. Dalam pengembangan penyidikan, terungkap bahwa DDW menetapkan nominal fee sebesar Rp3,5 miliar—angka yang lebih tinggi dari nilai awal yang diajukan IC sebesar Rp1,5 miliar. Transaksi suap tersebut kemudian direalisasikan dalam bentuk pertemuan di salah satu hotel di Samarinda.
Dalam pertemuan itu, IC diminta mengantarkan amplop berisi Rp3 miliar dalam pecahan dolar Singapura kepada DDW. Di saat yang sama, ROC melalui SUG juga menyerahkan tambahan Rp500 juta, juga dalam pecahan dolar Singapura. Setelah transaksi berlangsung, ROC menerima dokumen Surat Keputusan (SK) perpanjangan 6 IUP dari DDW melalui perantara berinisial IJ, yang diketahui merupakan pengasuh pribadi DDW.
Atas perbuatannya, ROC disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara DDW diduga terlibat sebagai pihak penerima suap dalam kapasitasnya sebagai perantara dan anak dari pejabat publik. KPK memastikan bahwa proses pendalaman masih terus berjalan, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak lain serta pola praktik suap dalam pengurusan IUP di Kaltim.
(tim redaksi)