POLITIKAL.ID - Isu mengenai “uang tutup mulut” senilai Rp5 juta yang sempat beredar di salah satu media lokal Samarinda, dibantah tegas oleh Risma, warga Jalan Kakap, Kelurahan Sungai Dama, yang akrab disapa Acil Terowongan.
Acil Terowongan menegaskan bahwa pernyataannya dalam wawancara sebelumnya telah disalahartikan dan sama sekali tidak pernah menyebut uang kompensasi tersebut sebagai “uang tutup mulut”.
Dalam wawancara lanjutan di kediamannya pada Sabtu (16/10/2025), Risma menjelaskan bahwa uang kompensasi yang diberikan pihak kontraktor proyek terowongan hanyalah bentuk perhatian sementara terhadap warga yang terdampak getaran dan keretakan rumah selama proses pengerjaan berlangsung.
“Kayaknya nggak ada, Mas. Saya ngomong seperti itu (uang tutup mulut) nggak pernah. Kami minta perbaikan, minta dibuatkan turap, dan perbaikan untuk rumah yang mengalami keretakan,” ujar Risma dengan nada tegas.
Pemberitaan di salah satu media lokal sebelumnya menyebut bahwa sejumlah warga menerima kompensasi sebesar Rp5 juta dan menganggapnya sebagai “uang tutup mulut”. Narasi tersebut langsung menjadi sorotan publik, terutama karena proyek terowongan itu merupakan proyek strategis yang sedang diawasi ketat oleh masyarakat dan pemerintah kota.
Risma menyayangkan pemberitaan yang tidak sesuai dengan konteks ucapannya. Ia menilai, kesalahan penafsiran seperti ini dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap warga yang sebenarnya hanya memperjuangkan hak mereka sebagai pihak terdampak proyek.
“Kepada medianya, mungkin kalau mau menuangkan sesuatu sesuai dengan apa yang saya bicarakan sih, Mas. Jadi jangan sampai salah tafsir atau menggiring opini ke arah yang tidak kami maksud,” tuturnya.
Menurutnya, warga di sekitar proyek tidak menolak pembangunan terowongan tersebut. Mereka memahami bahwa proyek itu penting untuk mengurai kemacetan dan memperlancar arus lalu lintas di Kota Samarinda. Namun, warga hanya ingin memastikan keselamatan dan kenyamanan mereka tidak diabaikan.
“Kami ini cuma minta hak kami, Mas. Rumah kami goyang setiap malam, dinding retak. Kami mau pembangunan jalan terus, tapi juga ingin tenang tinggal di rumah sendiri,” kata Risma lagi.
Sejak beberapa minggu terakhir, warga Jalan Kakap memang aktif menyampaikan keluhan kepada pihak kontraktor dan pemerintah kota. Beberapa rumah dilaporkan mengalami retakan pada dinding dan lantai akibat getaran alat berat. Warga juga meminta agar dibuatkan turap pelindung di sisi pemukiman untuk mencegah longsoran tanah dan kerusakan lebih lanjut.
Klarifikasi dari Risma ini menjadi sorotan karena muncul di tengah meningkatnya keprihatinan terhadap tanggung jawab media dalam menjaga akurasi pemberitaan. Di era digital, di mana informasi cepat menyebar, kesalahan kutipan atau narasi yang tidak presisi dapat menimbulkan dampak sosial yang serius termasuk menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap media.
Pemkot Samarinda sendiri dikabarkan tengah melakukan koordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) serta pihak kontraktor untuk memfasilitasi komunikasi antara warga dan pelaksana proyek. Langkah ini diambil untuk memastikan proses kompensasi berjalan transparan dan tidak menimbulkan kesalahpahaman baru.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kontraktor proyek terowongan belum memberikan keterangan resmi mengenai teknis pemberian kompensasi. Namun, sumber internal proyek menyebut bahwa kompensasi diberikan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap warga yang terdampak, bukan sebagai upaya untuk menutup mulut masyarakat.
Menutup pernyataannya, Risma menyampaikan harapan agar media bisa menjadi jembatan komunikasi yang adil, bukan sumber kesalahpahaman.
“Kepada media, mohon kami warga ini dibantulah supaya kami bisa mendapatkan hak-hak kami. Kami ingin pemberitaan yang sesuai dengan keadaan di lapangan, bukan yang menggiring opini,” pungkasnya.
Klarifikasi ini diharapkan dapat meluruskan isu yang sempat beredar dan menjadi pengingat penting bahwa di tengah semangat pembangunan, keakuratan informasi dan tanggung jawab media berdasarkan fakta harus dijaga bukan hanya sebagai opini semata.
Respon Dinas PUPR Samarinda
Sebelumnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Samarinda, Desy Damayanti, menegaskan pihaknya telah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kejadian getaran disekitar proyek terowongan. Menurutnya, peristiwa itu terjadi saat pihak pelaksana tengah melakukan uji kekuatan pancang (bore pile test) pada struktur fondasi terowongan.
“Uji yang kami lakukan ini bukan uji komisioning dari pusat tapi uji internal terhadap struktur. Jadi, bukan pengujian terhadap bangunan terowongannya langsung, melainkan fondasi bawah yang harus dipastikan kuat,” ucapnya.
Ia tak menampik adanya keluhan warga terkait munculnya retakan di dinding rumah. Namun, ia menegaskan PUPR tidak bisa langsung mengambil kesimpulan bahwa semua kerusakan disebabkan oleh kegiatan proyek tanpa data teknis yang valid.
“Kami bersama pelaksana proyek mendata apa yang disampaikan warga. Tapi secara teknis, kami harus punya data lengkap sebelum memutuskan langkah perbaikan atau pergantian. Data itu tidak bisa dari satu pihak saja,” terangnya.
Ia menyebut bahwa pendataan dilakukan untuk memastikan apakah kerusakan rumah warga memang terjadi akibat proses pembangunan, atau sudah ada sebelumnya.
“Kami juga punya data awal bangunan sebelum proyek dimulai jadi harus dibuktikan dulu. Pemerintah tidak bisa serta-merta mengeluarkan uang tanpa dasar yang jelas,” ujarnya.
Soal adanya warga yang menerima uang Rp 5 juta dari pihak pelaksana proyek, Desy menegaskan bahwa dana tersebut bukan bentuk ganti rugi, melainkan uang kerohiman.
“Itu uang kerohiman, bukan ganti rugi. Kalau ganti rugi itu harus ada perhitungan yang jelas seperti appraisal dihitung jenis kerusakan dan biaya perbaikannya. Kami tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang tanpa bukti,” tegasnya.
Ia menambahkan, setiap penggunaan anggaran publik harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif maupun hukum.
“Mengeluarkan uang pemerintah, bahkan seratus ribu rupiah pun, kami harus punya bukti. Kami bisa diperiksa inspektorat kalau tidak ada dasar yang kuat,” jelas Desy.
(Redaksi)