POLITIKAL.ID - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengancam negara anggota BRICS.
Dalam unggahannya di platform media sosial Truth Social pada Minggu malam (6/7 waktu setempat), Trump menegaskan akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap seluruh negara anggota BRICS yang dinilainya mendukung kebijakan anti-Amerika.
"Negara mana pun yang berpihak pada kebijakan anti-Amerika dari BRICS akan dikenakan TARIF TAMBAHAN sebesar 10%. Tidak akan ada pengecualian untuk kebijakan ini," tulis Trump di platform media sosial miliknya itu seperti dikutip AFP.
Diketahui sampai saat ini, anggota BRICS tercatat sebanyak 11 negara yang terdiri dari tiga musuh Utama AS yakni China, Rusia dan Iran, serta Brasil, India, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan terbaru Indonesia.
Jika Trump benar-benar serius dengan pernyataannya itu, maka Indonesia sebagai anggota baru BRICS juga turut terkena tarif tambahan ini.
Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir buka suara.
Ia menegaskan bahwa pertemuan BRICS bukan menunjukkan upaya melawan AS maupun kelompok negara manapun.
"Pertemuan BRICS ini kan tidak ada upaya apapun untuk melawan Amerika atau yang lain ya," katanya.
Dia menegaskan, dalam pertemuan BRICS ini, tidak ada langkah upaya melawan suatu negara atau kelompok negara manapun. Justru, lanjutnya, isu yang dibahas dalam pertemuan yakni lingkungan hidup, kesehatan, masalah situasi global, dan bagaimana memperkuat multilateralisme.
"Jadi tidak ada isu-isu sama sekali bertentangan dengan kepentingan negara berkembang atau pun melawan suatu negara," katanya.
Pertemuan BRICS, ujarnya, bertujuan mempersatukan negara berkembang mengatasi berbagai tantangan yang akan dihadapi.
Ia juga menegaskan dalam pertemuan itu tidak ada dibahas mengenai ancaman yang dilakukan Trump terhadap negara BRICS.
"Tidak, jadi pembahasan karena isu seperti itu kan kita tidak bisa mengontrol apa yang disampaikan Presiden Amerika atau kepala negara lainnya. Itu yang perlu ditekankan bahwa banyak di luar hal-hal yang sebenarnya tidak sesuai, hal-hal yang dibahas di dalam BRICS," katanya.
(*)