IMG-LOGO
Home Nasional JK Tegaskan 4 Pulau Sengketa Milik Aceh, Yusril: Tidak Bisa Hanya Pakai UU 1956
nasional | umum

JK Tegaskan 4 Pulau Sengketa Milik Aceh, Yusril: Tidak Bisa Hanya Pakai UU 1956

oleh VNS - 15 Juni 2025 15:14 WITA
IMG
KOLASE - Yusril Ihza Mahendra (Kiri) dan Jusuf Kalla (Kanan) (Istimewa)

POLITIKAL.ID - Persoalan sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara tidak hanya menjadi isu wilayah administratif, tetapi juga memunculkan perbedaan tafsir antara dua tokoh nasional yaitu Yusril Ihza Mahendra dan Jusuf Kalla (JK).

Keduanya memiliki sudut pandang berbeda dalam menilai dasar hukum yang sah atas kepemilikan Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Kecil, dan Mangkir Besar.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Perjanjian Helsinki 2005 maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tidak dapat dijadikan rujukan final dalam menentukan status kepemilikan keempat pulau tersebut.

“Tidak dapat dijadikan rujukan, jalur Undang-Undang 1956 juga tidak. Kami sudah pelajari hal itu,” ujar Yusril, Minggu (15/6/2025).

Menurut Yusril, UU 24/1956 hanya menyebut daerah otonom Aceh secara umum, tanpa mencantumkan batas wilayah secara eksplisit. Oleh karena itu, menurutnya, penegasan tapal batas harus dilandaskan pada instrumen hukum terkini dan kajian geospasial objektif.

Berbeda dengan Yusril, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai bahwa dasar hukum dan sejarah sangat jelas menunjukkan keempat pulau tersebut merupakan bagian dari Provinsi Aceh, tepatnya wilayah Aceh Singkil.

“Secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,” tegas JK.

JK merujuk pada isi Perjanjian Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menurutnya menyepakati batas wilayah Aceh sesuai dengan UU 24/1956. Ia bahkan menegaskan, keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tidak bisa membatalkan kedudukan UU.

“UU lebih tinggi dibanding Kepmen. Kepmen tidak bisa mengubah UU,” ujarnya.

Polemik ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara hukum positif, perjanjian politik, dan realitas administratif. Pemerintah pusat pun dituntut untuk segera melakukan kajian yuridis, historis, dan geospasial menyeluruh guna mencegah konflik berkepanjangan antarwilayah.

(Redaksi)