POLITIKAL.ID - Sebanyak sekitar 80.900 warga di Provinsi Guizhou, wilayah barat daya Tiongkok, terpaksa mengungsi dari tempat tinggal mereka akibat banjir besar yang melanda sejak awal pekan ini. Hal ini dikonfirmasi oleh kantor berita pemerintah Xinhua, sebagaimana dilaporkan oleh AFP, Rabu (25/6/2025).
Pemerintah China setempat telah menaikkan tingkat respons darurat banjir ke level tertinggi. Tindakan ini diambil sebagai langkah antisipatif terhadap kondisi banjir yang terus meluas dan mengancam keselamatan warga.
“Air naik dengan sangat cepat,” ungkap seorang warga bernama Long Tian, yang tinggal di salah satu daerah terdampak, dikutip dari laporan media berita lokal Xinhua.
Salah satu wilayah yang terdampak paling parah adalah Kabupaten Rongjiang. Di wilayah ini, sebuah lapangan sepak bola dilaporkan terendam air hingga setinggi tiga meter, menurut informasi yang dirilis oleh media pemerintah.
Pemerintah China telah mengirimkan tim penyelamat ke dua lokasi terdampak utama, untuk melakukan proses evakuasi serta memberikan bantuan darurat kepada warga.
Laporan resmi belum menyebut adanya korban jiwa hingga berita ini diturunkan. Namun demikian, kerusakan terhadap infrastruktur dan permukiman dilaporkan cukup signifikan.
Banjir di wilayah selatan dan barat daya Tiongkok merupakan fenomena musiman yang kerap terjadi antara bulan Mei hingga Agustus, ketika curah hujan tinggi akibat pengaruh cuaca tropis.
Bersamaan dengan tragedi di selatan, Beijing menghadapi kondisi sebaliknya yaitu panas ekstrem yang menyesakkan. Pemerintah kota mengeluarkan peringatan oranye, peringatan tertinggi kedua, menyusul lonjakan suhu hingga 38°C.
Warga China terdampak beradaptasi dengan berbagai cara. Sebagian berteduh di bawah jembatan dan kanal, sementara lainnya mengatur ulang jam aktivitas demi menghindari sengatan matahari.
“Saya bahkan berhenti memakai pakaian formal ke kantor. Baru olahraga setelah pukul 10 malam,” ujar Li Weijun, pekerja magang berusia 22 tahun.
Otoritas China meminta masyarakat membatasi aktivitas luar ruang, menjaga asupan cairan, dan memberi perhatian khusus pada kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.
Kejadian ekstrem ini semakin menguatkan kekhawatiran tentang perubahan iklim global. Para ilmuwan sepakat bahwa pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca membuat cuaca ekstrem terjadi lebih sering dan intens.
China sendiri merupakan penghasil emisi karbon terbesar di dunia, meskipun juga menjadi pemimpin dalam pengembangan energi terbarukan. Negara ini telah berkomitmen untuk:
Mencapai puncak emisi sebelum 2030
Mencapai netral karbon pada 2060
Namun, ketergantungan yang masih tinggi terhadap batu bara menjadi tantangan besar dalam mencapai target tersebut yang salah satunya menyebabakan perubahan iklim ekstrem.
(Redaksi)