POLITIKAL.ID - Lonjakan harga kelapa yang kini menembus Rp20 ribu per butir di Kota Samarinda mendapat perhatian serius dari Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Sapto Setyo Pramono. Legislator dari Fraksi Golkar itu menilai kenaikan harga tersebut mencerminkan lemahnya ketahanan pasokan kelapa lokal di daerah.
Menurutnya, kelapa bukan sekadar komoditas biasa, melainkan bagian penting dari kebutuhan pokok rumah tangga, terutama bagi pelaku usaha kuliner seperti warung makan Padang yang menggunakan kelapa dalam jumlah besar.
“Yang jelas, kelapa itu bagian yang tidak terpisahkan dari kebutuhan dapur masyarakat. Kenaikan harga seperti ini menunjukkan kita terlalu bergantung pada suplai dari luar daerah,” ujar Sapto kepada Niaga.Asia, Minggu (11/5/2025).
Berdasarkan informasi dari pelaku usaha, harga kelapa yang semula berada di kisaran Rp12 ribu per butir, kini sudah tembus hingga Rp20 ribu. Pasokan yang selama ini berasal dari Sulawesi mengalami gangguan, menyebabkan harga naik lebih dari 40 persen hanya dalam dua bulan.
Menanggapi hal ini, Sapto menyarankan agar pemerintah daerah, khususnya Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim, segera melakukan kajian menyeluruh terhadap potensi budidaya kelapa di Benua Etam. Ia menilai saat ini belum ada wilayah di Kaltim yang dijadikan pusat produksi kelapa secara serius.
“Kita belum punya basis produksi kelapa yang kuat. Komoditas ini hanya tumbuh di wilayah pesisir tertentu, dan belum pernah dibudidayakan secara terencana oleh provinsi maupun kabupaten/kota,” terangnya.
Sapto menekankan perlunya pemetaan wilayah yang cocok untuk pengembangan kelapa, termasuk kesiapan lahan, kondisi agroklimat, dan kapasitas petani. Hal ini penting agar Kaltim tak lagi sepenuhnya bergantung pada pasokan dari luar daerah.
“Nanti kita coba dorong agar Disbun memetakan wilayah yang cocok untuk kelapa. Kalau memang bisa tumbuh, kenapa tidak dijadikan komoditas unggulan?” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pengembangan kelapa harus dirancang sebagai sistem terpadu dari hulu ke hilir. Selain budidaya, potensi ekonomi dari produk turunan kelapa seperti santan, minyak kelapa, hingga nata de coco juga perlu dikembangkan.
“Kelapa itu tidak hanya soal daging buahnya. Sepet, kulit, sampai tempurungnya bisa diolah jadi produk bernilai ekonomi. Ini peluang usaha yang besar kalau dikelola secara serius,” tegas Sapto.
Di sisi lain, ia memahami bahwa kenaikan harga saat ini bisa menjadi berkah bagi petani kelapa di daerah penghasil. Namun tanpa strategi jangka panjang, kondisi seperti ini bisa jadi bumerang jika kelapa kembali mengalami penurunan harga drastis di kemudian hari.
“Petani butuh kepastian harga dan pasar. Kalau sistemnya tidak dibangun dari awal, mereka juga yang nanti kena imbasnya saat harga jatuh,” tutupnya.
Sapto berharap Pemprov Kaltim segera menyusun roadmap pengembangan kelapa lokal sebagai bagian dari diversifikasi komoditas unggulan. Dengan begitu, Kaltim tak hanya menjadi konsumen, tapi juga produsen yang mandiri.
(Adv)