IMG-LOGO
Home Nasional Legalitas Kasino di Indonesia Kembali Disorot, Bisakah Kebijakan Gubernur Ali Sadikin di Tahun 1967 Diulang ?
nasional | umum

Legalitas Kasino di Indonesia Kembali Disorot, Bisakah Kebijakan Gubernur Ali Sadikin di Tahun 1967 Diulang ?

oleh VNS - 25 Mei 2025 13:22 WITA
IMG
Kasino Jakarta Era Ali Sadikin Tahun 1970 (Istimewa)

POLITIKAL.ID - Usulan mengejutkan muncul dari ruang rapat Komisi XI DPR RI pada Kamis (8/5/2025) lalu. Dalam rapat kerja bersama Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, anggota DPR dari Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, menyarankan agar pemerintah membuka peluang legalisasi kasino sebagai cara menambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Galih mencontohkan langkah berani yang mulai diambil Uni Emirat Arab (UEA), negara konservatif yang justru membuka diri terhadap industri kasino sebagai bagian dari diversifikasi ekonomi.

“Mohon maaf nih, saya bukannya mau apa-apa, tapi UEA kemarin udah mau jalanin kasino. Coba negara Arab jalanin kasino. Maksudnya mereka kan out of the box gitu kementerian dan lembaganya,” ujar Galih, dikutip Minggu (25/5/2025).

Pernyataan itu segera memicu perhatian publik, karena menyentuh wilayah yang selama ini dianggap tabu dan dilarang keras secara hukum di Indonesia yaitu perjudian.

Dalam konteks hukum saat ini, legalisasi kasino bukan perkara mudah. Indonesia secara tegas melarang segala bentuk perjudian melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 303 dan 303 bis. Hukuman pidana dikenakan tidak hanya bagi pelaku, tetapi juga penyelenggara dan pihak yang memfasilitasi.

Pasal 303 KUHP berbunyi:

"Barang siapa dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi, atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan perjudian sebagai pencari untung, dihukum penjara selama-lamanya sepuluh tahun."

Larangan ini diperkuat dengan UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, yang menegaskan bahwa semua bentuk perjudian dilarang untuk melindungi ketertiban dan moral masyarakat.

Meski saat ini dilarang, sejarah mencatat bahwa praktik kasino pernah dilegalkan secara terbatas di Indonesia. Hal ini terjadi pada tahun 1967 di era Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang saat itu menghadapi kesulitan anggaran untuk membangun ibu kota.

Dengan menerbitkan SK Gubernur No. 805/A/k/BKD/1967, Pemprov DKI Jakarta membuka kasino resmi di kawasan Petak Sembilan, Glodok. Lokasi itu dioperasikan bekerja sama dengan warga negara keturunan Tionghoa dan hanya melayani kalangan tertentu, warga Tionghoa saja. WNI non-keturunan dilarang berjudi.

Menurut pemberitaan Kompas (23 November 1967) dan Sinar Harapan (21 September 1967), pendapatan dari kasino tersebut mencapai Rp25 juta per bulan, angka yang sangat besar jika dikonversi dengan nilai emas kala itu.

Jika dikonversi ke masa sekarang, berarti uang Rp25 juta atau 108,7 Kg emas setara dengan Rp200-an miliar. Dengan demikian, keuntungan Pemerintah DKI Jakarta di awal legalisasi kasino mencapai miliaran rupiah per bulan.

Namun setelah rezim berganti dan arus regulasi diperketat, praktik perjudian kembali dilarang secara menyeluruh, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Jika pemerintah ingin menindaklanjuti usulan Galih, maka diperlukan perubahan atau pengecualian hukum secara fundamental. Ada beberapa opsi yang secara teoritis bisa dijajaki:

  1. Revisi UU dan KUHP

 Untuk melegalkan kasino, DPR dan pemerintah harus mengubah atau menambahkan klausul pengecualian dalam UU KUHP dan UU Penertiban Perjudian, terutama untuk wilayah tertentu seperti kawasan pariwisata atau zona ekonomi khusus (KEK).

  1. Regulasi Terbatas ala Zona Ekonomi Khusus (SEZ)

 Pemerintah bisa meniru model negara lain yang membuka kasino hanya di wilayah khusus. Misalnya, hanya untuk wisatawan asing di kawasan tertentu seperti Bali, Batam, atau Bintan. Hal ini membutuhkan regulasi turunan dan pengawasan ketat.

  1. Perubahan Narasi Publik dan Sosial

Selain aspek hukum, pemerintah harus menghadapi tantangan sosial dan budaya. Legalisasi kasino berpotensi menimbulkan resistensi dari kelompok keagamaan dan masyarakat sipil, yang melihat judi sebagai praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Prof. Zainal Arifin Mochtar, menilai bahwa legalisasi kasino secara hukum tidak mustahil dilakukan, tetapi akan menghadapi resistensi besar di parlemen dan publik.

“Secara prosedur bisa saja dibuka ruang hukum baru melalui revisi undang-undang. Tapi ini bukan semata soal aturan, melainkan soal legitimasi publik. Pemerintah harus siap hadapi tekanan moral dan sosial,” kata Zainal saat dihubungi, Minggu (25/5).

Sementara itu, praktisi hukum pidana, Ari Yusuf Amir, menyatakan bahwa jika benar-benar ingin mendorong legalisasi, maka harus ada regulasi ketat, sistem pengawasan berlapis, serta pembatasan tegas agar tidak menyasar masyarakat umum.

Usulan legalisasi kasino mencuat di tengah upaya pemerintah mencari alternatif pendapatan negara. Namun, jalan menuju kebijakan tersebut bukanlah tanpa rintangan hukum.

Sejarah pernah mencatat bahwa kasino bisa menjadi sumber pemasukan signifikan bagi pemerintah. Tetapi dalam konteks hukum Indonesia saat ini, perjudian tetap berada di bawah larangan keras.

(Redaksi)