POLITIKAL.ID - Hubungan erat antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan pemerintah kembali menuai sorotan tajam.
Di tengah maraknya kerusakan lingkungan akibat ekspansi tambang, terutama nikel di wilayah Papua dan Maluku, PBNU dinilai gagal menunjukkan sikap kritisnya terhadap kekuasaan.
Kritik ini disampaikan oleh Mahrus Ali, mantan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PCNU Lamongan, dalam rilis opininya pada Sabtu (14/6/2025).
Ia menilai bahwa PBNU telah kehilangan posisi sebagai penjaga moral publik.
“Fenomena ini mengindikasikan bahwa penguasa hari ini cukup cerdas memainkan kartu politik keagamaan dengan membenturkan sesama warga Nahdliyin,” tulis Mahrus Ali, dalam pers rilisnya, Sabtu (14/6/2025).
Mahrus juga menyinggung absennya sikap tegas PBNU terhadap perusakan lingkungan yang nyata berdampak pada masyarakat adat, sumber daya air, dan keberlanjutan ekosistem.
Ia menyayangkan menghilangnya narasi “taubat ekologis” dari mimbar-mimbar khutbah dan forum publik NU yang dulu pernah menjadi suara keras dalam isu lingkungan.
Kritik makin tajam ketika terungkap bahwa sejumlah tokoh PBNU kini menjabat sebagai komisaris di beberapa perusahaan tambang.
Fakta ini memunculkan dugaan konflik kepentingan yang mencederai kepercayaan publik.
Tidak hanya itu, suara kritis dari kader PKB—partai yang lahir dari rahim NU—juga justru mendapat kecaman dari internal NU sendiri.
Publik pun bertanya-tanya: apakah PBNU sedang bermain aman demi menjaga akses kekuasaan?
“Jika ‘taubat ekologis’ dikubur bersama idealisme yang tergadai, maka sejarah tak hanya mencatat kerusakan alam, tapi juga keruntuhan nurani umat,” jelasnya.
Kerusakan ekologis seperti hilangnya tanah adat, pencemaran laut dan sungai, serta deforestasi, disebut berlangsung tanpa perlawanan berarti dari PBNU.
Hingga kini, belum ada sikap resmi atau fatwa lingkungan yang kuat dari institusi tersebut.
Peneliti isu-isu sosial keagamaan juga menilai bahwa minimnya posisi tegas dari ormas besar seperti NU membuka ruang bagi negara dan korporasi untuk melanggengkan eksploitasi sumber daya alam tanpa akuntabilitas.
Pakar-pakar sosial keagamaan dan aktivis lingkungan menyerukan refleksi kolektif atas posisi NU di tengah krisis iklim dan ketidakadilan ekologis yang semakin mendalam.
“NU harus tetap kritis terhadap pemerintah, jika pemerintah mengabaikan keadilan dan kerusakan lingkungan,” kutipan Gus Dur dalam sebuah seminar kembali diangkat untuk menunjukkan pentingnya posisi independen ormas Islam terbesar di Indonesia itu.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi belum menerima tanggapan resmi dari pihak PBNU terkait kritik tersebut. (*)